Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maaf

9 tahun sudah aku mendekam dipenjara ini., semenjak aku membunuh mertuaku sendiri. Yang sudah berani beraninya menampari muka istriku karena tidak diberi pinjaman uang. Padahal anaknya tersebut, sedang 8 bulan mengandung anaku. Dasar mertua kampret, kau memang pantas aku kirim ke neraka..!

17 Agustus 1995, hari ini
Rencananya aku akan dibebaskan dari semua tuntutan hakim yang menghukumku dengan 15 tahunpemjara. Dipotong masa tahanan dan 5 kali grasi dari Presiden, hari ini aku bisa menghirup kembali udara bebas.

Untuk yang terakhir kalinya aku memimpin shalat subuh berjamaah di hotel prodeo ini. Tak kuasa ku bendung, air mata langsung meleleh dari kedua mataku saat mengucapkan sallam. Hati kecilku enggan untuk meninggakan mereka, kawanku, sahabatku, murid muridku yang kurang beruntung. Aku ingin terus mengajarkan semua ilmu agama yang ku kuasai pada mereka. Mereka semua orang orang baik, yang sebetulnya tidak pantas berada disini.

Jam 10 pagi, aku mulai berjalan menyusuri jalan raya yang menuju ke arah Bekasi. Aku tak mau terburu buru, aku masih ingin menikmati kebebasanku ini. Tidak peduli dengan panas matahari, debu dari knalpot bis kota, bahkan mata mereka yang seakan hendak menelanjangiku, aku terus berjalan.

" hati hati kau pik, diluar sana bisa bisa kau ditangkap Densus dengan tuduhan gembong teroris, hahaha.." Kelakar si Simon mengomentari penampilanku saat dia mengantarkan keluar.
Si Simon ini sahabat kentalku dipenjara, dia seorang manager artis yang ketiban sial saat coba coba main shabu.

Sejak pertama mendiami penjara ini, aku memang sengaja merubah total penampilanku. Rambut kubiarkan panjang, begitu juga dengan cambang dan janggutku. hingga sekilas, penampilanku memang mirip dengan mereka yang ditangkap atau di tembak mati Densus 88 dengan tuduhan pelaku terorisme.

Jam 3 malam aku sampai di terminal Tasikmalaya. Namun sayangnya belum ada angkutan umum pagi buta begini ke arah Singaparna, kampung mertuaku. Sebetulnya malu dan ragu, tapi aku sangat rindu sekali terhadap istri dan anaku. Aku rindu ingin bertemu, walaupun aku tahu mereka sudah tidak peduli lagi padaku. Dan walaupun mereka membenciku dengan tidak pernah mengirimkan kabar apapun selama aku dibui.
Aku ingin memohon maaf.

18 Agustus 1995,
Jam 11 siang aku sampai di depan halaman sebuah rumah. Bendera merah putih berkibar gemulai diatas tiang bambu, seakan menyambut kedatanganku. Pandanganku beralih saat seorang anak wanita keluar dari rumah mertuaku. Dia begitu cantik, mirip dengan wanita yang sangat aku sayangi.
Dia tertegun memandangku, pandangan mata kami beradu.
Tanpa sadar, air mataku meleleh membasahi cambangku melihat anak wanita yang berdiri mematung didepan pintu.

" Maaah.. aya tamu "
" Saha neng.? " jawab seseorang dari dalam rumah.
Suara itu, ah...
Tak lama kemudian keluar seorang wanita yang sudah sangat aku kenal, Istriku.
Tak kalah dengan anak wanita tadi, dia tertegun dan sedikit kaget saat memandangku.
Aku tersenyum padanya, namun tidak ada reaksi apa apa.
Bahkan dia buru buru masuk kembali kedalam rumah dengan membawa anak kecil tadi.

" Mah.." gumamku.
Namun dia keburu menghilang di balik pintu yang ditutupkan.