Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cermin Pendidikan Bangsa Indonesia

Pendidikan merupakan tiang pancang kebudayaan
Dan pondasi utama untuk membangun peradaban bangsa.
Kesadaran akan arti penting pendidikan
Sangat menentukan kualitas kesejahteraan lahir, batin dan masa depan warganya.

Oleh karena itu substansi pendidikan, materi pengajaran dan metodologi pembelajaran, serta manajemen pendidikan yang akuntabel susah, seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara.
Terbukti bahwa seluruh bangsa yang berhasil mencapai tingkat kemajuan kebudayaan dan teknologi tinggi, mesti disangga oleh kualitas pendidikan yang sangat kokoh.

Seperti halnya jepang, bagaimana Negara tersebut bisa pulih dari keterpurukan akibat bom atom yang
menghujam Negara tersebut pada perang dunia II silam.
Bukan berapa harta benda yang ada, bukan banyak rakyat yang hidup, bukan berapa rakyat yang mati.
Akan tetapi pemeritahan waktu itu menanyakan,
“berapa guru yang masih hidup”.
Artinya, yang diinginkan pemerintah Jepang kala itu adalah pendidikan, yang harus di utamakan untuk benahi.

Ironis dan memperhatinkan memang ketika sekarang kita melihat bagaimana lembaga pendidikan di Negri ini tak ubahnya hanya sebagai mesin cetak ijazah, hanya demi bagaimana sekolahannya laku, iming-iming cepat lulus, akreditasi disetarakan, dsb.

Bisakah kita harapkan dari pendidikan yang fiktif belaka.?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek jual beli ijazah yang terjadi di Indonesia telah merata,
Bagaimana kita bisa dapatkan title dengan cara yang begitu instant tanpa ada kerja keras yang pantas untuk dapatkan gelar tersebut.
Lalu apakah kemudian ketika diterapkan dalam masyarakat bisakah memenuhi target..?
Apa bukan cara instant lagi yang bakal ia tempuh...?

Tak hanya itu, kita tahu dimana-mana sekolahan sekarang bukan lagi lembaga pendidikan yang bakal mencetak golongan-golongan intelektual yang mampu diandalkan,
Tapi sekolahan sekarang tak ubahnya sebagai perusahaan keluarga yang menjanjikan.
Tak peduli lulusan SMP, tak peduli mutu tak tinggi, yang penting mempunyai silsilah dalam kekuasaan lembaga akan dijadikan bagian dari lembaga tersebut.
Mulai dari karyawan, dan bahkan guru.

Padahal seorang guru adalah sosok yang menjadi panutan, sosok yang harus menjadi suri tauladan. Tapi kenapa dipilih hanya asal-asalan..?
Tentu saat ia mengajar asal-asalan pula yang bakal diberikan.

Mungkin kalau Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan Indonesia seperti saat ini tentu tidak bisa kita bayangkan berapa galon airmata yang keluar dari matanya.